Artikel

Informasi terkait digitalisasi aksara Nusantara.

Perjuangan Keluarga Iskandar Merawat Aksara Incung yang Berusia 1.000 Tahun

Suwandi— 21 Februari 2021 16:18
Aksara incung dalam naskah berusia 700 tahun yang terdapat dalam buku Uli Kozok berjudul Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah. (Suwandi)

Generasi terakhir keturunan pengguna aksara incung terus melanjutkan estafet pewarisan aksara incung kepada generasi muda, bahkan menembus batas ke ranah digital.

Iskandar Zakaria, pengguna aksara incung terakhir, telah tutup usia, September 2020 lalu. Namun ilmunya telah diwariskan kepada anak-cucu dan murid bahkan abadi dalam buku-buku.

Kompas.com menelusuri peranan dan jejak pewarisan Iskandar kepada anak dan cucu, lalu murid-muridnya serta buku-buku. Iskandar lahir di Sungaipenuh, Kerinci, Jambi.

Anak ke-7 dari 12 bersaudara dari pasangan Zakaria dan Rahma ini memiliki darah Minang. Sejak menjadi pegawai pada 1966, Iskandar sudah tertarik dengan incung.

“Semenjak jadi pegawai, Ayah mulai tertarik dengan incung. Pada 1970-an, Ayah sudah bisa membaca dan menulis incung serta membaca naskah-naskah tua beraksara incung,” kata anak sulungnya, Meizatety Qadarsih melalui sambungan telepon, Jumat (19/2/2021).

Kemampuan membaca dan menulis incung diperoleh Iskandar dari Abdul Kadir Djamil dan M Kabul Ahmad.

Meizatety ingat betul dengan mata kepalanya melihat Iskandar membaca naskah tua, kemudian menulisnya berulang-berulang setiap hari, huruf demi huruf pada media berbeda, tidak hanya kertas melainkan tanduk, bambu dan kain sebagai kerajinan batik.

Bangunan dua lantai rumah Iskandar selalu ramai anak-anak muda untuk belajar incung. Termasuk Meizatety, semenjak ibunya meninggal pada 2015 lalu, dia memilih hijrah dari Palembang ke Sungaipenuh dan kembali mempelajari incung.

Menetapnya anak sulung di Sungaipenuh membangkitkan gairah Iskandar untuk menurunkan ilmu aksara incung.

“Kami diajarkan bentuk-bentuk huruf dan tanda bacanya sampai bisa,” kenang Meizatety.

Suaranya parau di ujung telepon saat mengisahkan pesan terakhir Iskandar yang menyayat hati sekaligus membangkitkan semangat di dada. Jika dirinya tiada, Meizatety sebagai anaknya harus mengajarkan incung kepada semua orang.

“Jangan menolak dan jangan meminta bayaran. Siapa pun orang yang mau belajar, kalian terima dengan ikhlas,” kata Meizatety lirih menirukan suara ayahnya.

Pesan itu membekas pada ingatan Meizatety. Dia sekuat tenaga menghidupkan Sanggar Ilok Rupo, tempat ayahnya melatih anak-anak muda tentang incung dan tradisi Kerinci, dengan dana sendiri.

Sampai sekarang sudah puluhan orang yang belajar incung dengan Meizatety. Menurutnya, tidak rumit belajar incung apabila bersungguh-sungguh dan ulet, maka satu jam sudah bisa menulis incung.

Selayaknya aksara lain, belajar incung membutuhkan keuletan, dengan rajin menulis secara berulang-ulang, akan terbiasa dengan bentuk huruf dan tanda bacanya.

Tidak hanya mengajar baca-tulis, Meizatety membuat batik dengan huruf-huruf incung. Begitu juga anaknya, cucu Iskandar, Junifar Rizky Mahesa terus berselancar menekuni dunia digital, untuk membuat aplikasi khusus aksara incung.

Gairah mewariskan incung ke generasi muda juga tumbuh dari murid Iskandar, yakni Deki Syaputra dan Meka.

Meka membuka Sekolah Incung dengan dana swadaya selama tiga tahun terakhir. Sekolah incung telah melahirkan sedikitnya 400 anak yang mampu membaca dan menulis incung.

“Pak Iskandar itu guru incung saya dan dia bukan asli Kerinci. Tetapi hati dan jiwanya untuk incung. Karena beliau saya terinspirasi mendirikan Sekolah Incung,” kata Meka penuh semangat.

Sementara itu, Deky Syaputra membuka kelas di rumahnya untuk anak-anak di Kota Jambi belajar incung. Dia juga mengajar incung di televisi dan menyusun materi muatan lokal incung untuk SD dan SMP, berpedoman dari buku Iskandar Zakaria.

“Belajar incung dari Pak Iskandar. Orangnya sangat sabar dan suka belajar hal-hal baru. Dia salah satu tokoh di Kerinci,” kata pria berusia 30 tahun yang juga dosen di Universitas Batanghari.

Keteladan yang diberikan Iskandar menempa Deky untuk terus menyelami incung dalam kitab-kitab tua, yang tersimpan di rumah-rumah masyarakat Kerinci.

 

Merajut masa lalu dan masa depan

Deky Syaputra saat melatih guru agar mampu membaca dan menulis aksara incung yang nantinya akan mengajar mata pelajaran muatan lokal menulis incung.

Seorang anak tengah khusuk menggores kertas sembari memandangi layar ponsel dan mendengar instruksi dari guru. Meskipun di masa pandemi, mata pelajaran muatan lokal, menulis incung tetap berlangsung.

“Ini huruf ka, ga, nga, ta, da, na, pa, ba, ma, ca, ja, nya, sa, ra, la, wa, ya, ha, hua, mba, ngga, nda, nja, mpa, ngka, nta, nca, ngsa,” suara guru mengeja huruf incung yang diikuti oleh Puteri dengan serius.

Gairah untuk melestarikan aksara incung juga datang dari Pemerintah Kota Sungaipenuh dan Kabupaten Kerinci. Sebelum 2016, Pemkot Sungaipenuh meminta Deky Syaputra untuk melatih puluhan guru, yang nantinya sebagai pengajar incung di sekolah.

Kepala Dinas Pendidikan Sungaipenuh, Hadiyandra menuturkan, masuknya incung dalam materi pembelajaran di sekolah harus dilakukan. Menurutnya, incung adalah salah satu aksara tertua yang dimiliki Jambi, khususnya Kerinci.

Sementara orang yang mampu membaca dan menulis incung jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Bahkan beberapa orang telah meninggal dunia seperti Iskandar Zakaria dan Amirudin Gusti. Makanya, Pemkot Sungaipenuh merumuskan bahan ajar muatan lokal aksara incung.

Incung sendiri mulai menjadi mata pelajaran di sekolah sejak 2016. Pada saat itu, sambung Hadiyandra baru sekolah dasar kelas 4,5 dan 6.

“Harus mulai dari dasar dulu. Makanya diajarkan ke sekolah dasar. Kemudian tahun 2018 baru SMP untuk semua kelas,” kata Hadiyandra menjelaskan.

Incung yang dipelajari di sekolah ada 28 huruf. Materi pembelajarannya mulai dari pengenalan huruf, cara membaca, penulisan dan tanda baca. Tidak banyak tanda baca yang diberikan, hanya huruf (u) dan (i) serta (ng) dan (ah).

Berbeda dengan aksara nusantara lainnya, incung amat mudah dipelajari. Namun butuh penyesuaian dialek apabila menggunakan bahasa Kerinci.

“Kalau siswa yang sudah belajar incung itu sudah ribuan. SMP saja di Sungaipenuh ada 12 sekolah, sementara SD hampir 100 sekolah,” sebut Hadiyandra lagi.

Untuk guru sendiri, yang sudah mampu membaca dan menulis serta mengajarkan kepada siswa jumlahnya sudah hampir 200 orang.

Tidak mau ketinggalan dengan adiknya, Kabupaten Kerinci juga memasukkan incung dalam pelajaran muatan lokal di sekolah. Tahun ini, sudah menguji coba ke semua SD kelas 4, 5, dan 6.

“Kita sangat mendukung incung dipelajari di sekolah, agar dikenal generasi muda. Karena incung salah satu karya budaya leluhur, harus dilestarikan,” kata Bupati Kerinci Adirozal.

Aksara incung dan upacara adat

Digitalisasi dan pembelajaran di sekolah adalah cara terbaik untuk melestarikan incung pada hari ini dan masa depan. Namun ratusan tahun lalu, nenek moyang orang Kerinci, sudah mengenal pelestarian dengan menjadikan incung sebagai benda pusaka dan sakral.

Pelestarian incung dilakukan secara turun temurun pada pemangku adat di Kerinci. Naskah tua yang menggunakan incung umurnya lebih dari 700 tahun. Mengapa incung dapat bertahan?

Masyarakat Kerinci menyimpan naskah tua dan barang pusaka lainnya di atas loteng rumah dalam peti kayu yang kokoh. Mereka menganggap benda pusaka memiliki nilai luar biasa yang dapat melindungi dari ancaman bahaya.

“Benda pusaka baru diturunkan saat penobatan depati dan pembersihan benda pusaka, yang ditandai dengan ritual kenduri sko. Itu yang membuat naskah-naskah itu bertahan ratusan tahun,” kata Uli Kozok, profesor linguistik di Hawaii University sekaligus peneliti aksara Surat Incung di Kerinci pada 1999-2003.

Penurunan benda pusaka harus dengan upacara adat, yang menyebabkan tidak semua orang dapat mengakses naskah-naskah tua. Upacara adat membutuhkan biaya besar dan pesyaratan yang banyak. Tidak semua ritual sukses dilakukan, terkadang roh lelulur marah, yang ditandai dengan pemimpin upacara kesurupan. Itu pertanda syaratnya masih kurang.

Incung berumur 1.000 tahun berisi mantera dan ratapan patah hati

Paling sedikit 200-an naskah menggunakan aksara incung atau surat incung, yang masih menjadi barang pusaka. Ia memperkirakan aksara Incung masih digunakan sampai abad ke-20. Hilangnya aksara incung karena diganti dengan huruf latin atau jawi (Arab Melayu). Surat Incung menggunakan bahasa Melayu dan bercampur dengan bahasa Kerinci. Aksara Incung pada masa lalu digunakan di seluruh wilayah Kerinci dan wilayah perbatasan namun dengan variasi lokal.

“Belum ada sumber yang menunjukkan penciptaan surat incung. Masih belum jelas, tetapi sudah digunakan sejak abad ke-14, dugaannya sudah diciptakan sekitar 1.000 tahun lalu,” tambah Kozok.

Awalnya media tulis yang paling umum digunakan ialah bambu dan tanduk kerbau. Bambu biasanya digunakan untuk puisi cinta. Puisi cinta tersebut biasanya sangat sedih karena menceritakan nasib seorang bujang yang patah hati. Tampaknya puisi tersebut merupakan bagian dari adat berpacaran, dan itu juga salah satu alasan maka kebanyakan orang Kerinci pandai menulis dengan menggunakan Surat Incung.

Sementara tanduk biasanya digunakan untuk surat perjanjian atau piagam. Misalnya apabila ada sengketa antara kampung dalam hal batas wilayah. Maka diadakan perundingan dan kedua belah pihak meluruskan sengketa tersebut dengan mengadakan jamuan. Untuk jamuan tersebut dipotong seekor kerbau, dan tanduknya digunakan untuk mengabadikan perjanjian tersebut. Masing-masing pihak dapat satu tanduk.

Selain itu, cukup banyak teks yang mengandung ramalan, ilmu gaib dan mantera. Sementara untuk prasasti aksara yang digunakan selalu aksara Malayu yang hampir sama dengan aksara Jawa Kuno atau Kawi. Surat Incung tidak pernah digunakan untuk prasasti.

Incung di ruang publik

Berlomba dengan aksara latin, incung terus membumi. Kozok dan British Library sudah mendigitalisasi sampai ratusan naskah incung dan dapat diakses dengan mudah pada laman perpustakaan Inggris Raya tersebut.

Selanjutnya, pemuda asal Kerinci, Iwan Setio juga telah membuat font incung, namun baru bisa digunakan dalam komputer pribadinya. Untuk membuatnya diakses banyak komputer, dibutuhkan kesepakatan dan proses panjang.

“Saya menilai aksara incung belum final. Jumlahnya tidak 28, tetapi 31 huruf. Untuk melepaskan incung dalam font komputer, harus ada kesepakatan dulu, pertemuan antar ilmuwan,” kata Iwan yang juga peneliti Sejarah dan Budaya Kerinci.

Iwan sendiri telah menciptakan 31 font pada komputer pribadinya. Namun belum berani dilepaskan ke publik, karena membutukan kesepakatan banyak orang.

Hal senada juga disampaikan Uli Kozok, yang paling mendesak dilakukan menurutnya adalah Unicode untuk surat incung, lalu harus ada font agar dapat ditulis di komputer.

Incung memang belum masuk ke ranah digital. Setidaknya, pemerintah Kerinci dan Sungaipenuh telah menjadikan aksara incung sebagai nama jalan dan gedung pemerintahan.

Tentu hal ini dapat diperluas ke Provinsi Jambi. Pasalnya, kesepakatan dalam Seminar Aksara Kerinci Daerah Jambi pada tanggal 29 Februari 1992, merekemondasikan penguatan sebutan nama aksara incung, penguatan fungsi, pemasyarakatan aksara Incung melalui lembaga pendidikan, dan produksi buku-buku aksara incung.***

Tulisan Lainnya


September Ini Unicode Aksara Kawi Segera Rilis

Ada kabar menggembirakan terkait digitalisasi aksara nusantara. Aksara Kawi akan segera masuk ke dalam standar Unicode. Hal ini berarti, akan ada delapan aksara nusantara yang memenuhi standar Unicode.

Pengumuman Pemenang Lomba Kaligrafi Aksara Nusantara

Para juri hanya mengamati gambar, sedangkan nama pembuat karya baru dimunculkan oleh panitia setelah juri memutuskan para pemenang. Setelah menelaah, mencermati, dan menimbang karya-karya peserta, para juri memutuskan pemenang sebagai berikut.

Didukung PANDI: Kemenag Akan Gelar Kongres Digitalisasi Aksara Pegon

Kegiatan persiapan prakongres Aksara Pegon dihadiri juga para Pegiat Aksara. Forum ini menyepakati bahwa salah satu cara agar digitalisasi Aksara Pegon dapat terwujud diperlukan beberapa tahapan.

Lomba Kaligrafi Aksara Nusantara (Q&A)

Lomba ini dapat diikuti oleh seluruh masyarakat Indonesia dari semua kalangan, diselenggarakan oleh Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) bekerja sama dengan Yayasan Kebudayaan Rancagé. Berikut adalah pertanyaan yang sering diajukan kepada panitia.

Aksara Nusantara Diwacanakan jadi Bagian TKDN Perangkat Digital

Ini sebagai tindak lanjut penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) terhadap Font, Papan tombol, Transliterasi Aksara Jawa, Sunda dan Bali. Upaya mendorong TKDN Aksara Nusantara pada perangkat digital

Pendaftaran Aksara Kawi ke Unicode

Dengan masuknya Aksara Kawi ke Unicode kemudian menjadi peluang untuk revitalisasi Aksara Kawi di dunia digital yang akan didukung penggunaannya melalui SNI.