Aksara ini digunakan di wilayah Bali dan Lombok, Nusa Tenggara Barat. Aksara Bali digunakan untuk menulis bahasa Bali, Sanskerta, dan Kawi, namun dalam perkembangannya juga digunakan untuk menulis beberapa bahasa daerah lainnya seperti bahasa Sasak dan Melayu dengan tambahan dan modifikasi. Aksara Bali merupakan turunan dari aksara Brahmi India melalui perantara aksara Kawi dan berkerabat dekat dengan aksara Jawa. Aksara Bali aktif digunakan dalam sastra maupun tulisan sehari-hari masyarakat Bali sejak pertengahan abad ke-15 hingga kini dan masih diajarkan di Bali sebagai bagian dari muatan lokal. Pada tahun 2003 aksara Jawa diajukan ke Unicode dan diterima tahun 2006 mulai versi 5.0.
Aksara ini berasal dari daerah Sumatera Utara dan mulai muncul sekitar abad ke-14 Masehi. Awalnya, aksara yang digunakan untuk menulis bahasa Batak, meski dalam penggunaan sekarang dapat pula digunakan untuk menulis bahasa lain. Sistem aksara yang digunakan adalah alfasilabis atau Abiguda, dengan penulisan dari kiri ke kanan, seperti aksara Latin. Aksara ini disebut juga Surat Batak, Toba, Mandailing, Karo, Pakpak, dan Simalungun. Pada tahun 1999 aksara Batak diajukan ke Unicode dan baru diterima tahun 2010 mulai versi 6.0.
Lontara Bilang-bilang adalah sandi aksara Lontara yang digunakan dalam sastra Bugis untuk penulisan genre puisi tertentu. Sandi ini mensubtitusikan aksara Lontara dengan gubahan bentuk yang diturunkan dari angka Arab berdasarkan sistem bilangan abjad Arab. Sandi ini merupakan adaptasi dari sandi abjad Arab serupa yang pernah digunakan di wilayah Asia Selatan abad 19 M.
Aksara Bima atau disebut juga aksara Mbojo adalah aksara yang digunakan dikawasan Bima, Nusa Tenggara Barat. Aksara Bima dapat merujuk pada dua bentuk aksara, yaitu aksara Bima/mbojo yang berbentuk mirip aksara lontara/bugis, dan aksara Bima kuna. Aksara Bima digunakan untuk menuliskan bahasa Bima (Nggahi Mbojo) yang dituturkan di timur pulau Sumbawa. Menurut sejarah, tradisi tulis menulis di Kerajaan Bima telah berlangsung sejak abad ke-14, dari sebelum datangnya Islam. Hal ini terus berlanjut hingga awal abad ke-20.
Bahasa Mongondow sebagai bahasa induk kuno di kuatkan oleh fakta sejarah berbagai bukti termasuk arsip VOC ternyata telah mengenal aksara huruf Mongondow Melayu yang telah digunakan selama ratusan, bahkan mungkin ribuan tahun peradaban mongondow dan di Kerajaan Bolaang. Perlu kajian lebih lanjut tentang aksara ini.
Aksara Buda atau Aksara Gunung adalah sejenis Hanacaraka yang arkhais. Berdasarkan bentuknya, aksara Buda masih memiliki kedekatan dengan aksara Kawi. Aksara ini dahulu digunakan di Pulau Jawa. Jenis aksara ini dinamakan aksara Buda karena dianggap berasal dari zaman pra-Islam yang dalam bahasa Jawa disebut sebagai Zaman Buda. Kata Buda berdasarkan kata Buddha. Naskah-naskah yang berisikan tulisan menggunakan aksara Buda biasa ditemukan di daerah pegunungan. Karena itu jenis aksara ini juga disebut dengan istilah "Aksara Gunung".
Bukti-bukti penggunaan aksara yang berasal dari Aceh ini masih sangat sedikit sehingga masih perlu penelitian lebih lanjut. Akan tetapi, masyarakat setempat telah menyepakati keberadaan aksara ini melalui sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Aceh Tengah.
Aksara ini digunakan di wilayah Kerinci, Jambi. Belum ada catatan yang jelas sejak kapan aksara ini muncul, tetapi oleh masyarakat setempat digunakan untuk menulis pada kulit kayu, bambu, atau kulit kerbau. Sebagian naskah Incung dijadikan benda keramat. Atas upaya revitalisasi, aksara ini mulai digunakan di masyarakat, misalnya untuk plang jalan dan pengenalan di sekolah-sekolah. Sistem aksaranya adalah Abugida, dan memiliki kekerabatan dengan Aksara Ulu serta Aksara Lampung. Pada tahun 2016, aksara Incung telah didaftarkan Unicode, namun hingga kini belum mendapat standardisasi dari konsorsium tersebut.
Aksara ini merupakan salah satu aksara turunan Brahmi di Indonesia yang sejarahnya dapat ditelusuri runut melalui peninggalan-peninggalan yang diteliti oleh para ahli epigrafi. Akar tertua aksara Jawa adalah aksara Brahmi dari India yang berkembang menjadi aksara Pallawa di Asia Selatan dan Tenggara antara abad ke-6 hingga 8. Aksara Pallawa kemudian berkembang menjadi aksara Kawi yang digunakan sepanjang periode Hindu-Buddha Indonesia antara abad ke-8 hingga 15. Aksara ini digunakan sejarah luas di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, termasuk dalam di Jawa Barat dengan nama Cacarakan Sunda. Sistem aksaranya menggunakan Abugida dengan penulisan dari kiri ke kanan. Pada tahun 1999 aksara Jawa diajukan ke Unicode dan diterima tahun 2000 mulai versi 5.2.
Kemunculan aksara ini berkait secara langsung dengan kedatangan agama Islam ke Nusantara, karena abjad Jawi merupakan abjad Arab yang diubah untuk menuliskan Bahasa Melayu. Bukti terawal tulisan Jawi ini berada di Malaysia dengan adanya Prasasti Terengganu yang bertarikh 702 Hijriah atau abad ke-14 Masehi. Di Indonesia, aksara ini digunakan di berbagai daerah seperti Riau, Sumatera Selatan, dan sebagainya.
Aksara ini digunakan di wilayah Provinsi Lampung dan memiliki kekerabatan dengan aksara Ulu serta aksara Kerinci. Sistem aksaranya menggunakan Abugida, dengan penulisan dari kiri ke kanan. Belum ada catatan pasti sejak kapan aksara ini mulai muncul, tetapi penelitiannya sudah dilakukan sejak abad ke-19 oleh orang Belanda. Saat ini, aksara Lampung mulai diperkenalkan di sekolah. Pada tahun 2016, aksara Lampung telah didaftarkan Unicode, namun hingga kini belum mendapat standardisasi dari konsorsium tersebut.
Aksara ini berkembang di Sulawesi Selatan, disebut juga aksara Bugis, aksara Bugis-Makassar, atau aksara Lontara Baru. Aksara Lontara terutama digunakan untuk menulis bahasa Bugis dan Makassar, namun dalam pekembangannya juga digunakan di wilayah lain yang mendapat pengaruh Bugis-Makassar seperti Bima di Sumbawa timur dan Ende di Flores dengan tambahan atau modifikasi.Aksara ini merupakan turunan dari aksara Brahmi India melalui perantara aksara Kawi. Aksara Lontara aktif digunakan sebagai tulisan sehari-hari maupun sastra Sulawesi Selatan setidaknya sejak abad 16 M hingga awal abad 20 M. Aksara ini masih diajarkan di Sulawesi Selatan sebagai bagian dari muatan lokal. Pada tahun 1997 aksara Jawa diajukan ke Unicode dan diterima tahun 2005 mulai versi 4.1.
Aksara ini dikenal juga sebagai Ukiri' Jangang-jangang dalam bahasa Makassar, pernah digunakan di Sulawesi Selatan untuk penulisan bahasa Makassar antar abad 17 M hingga abad 19 M. Aksara Makassar menggunakan sistem tulisan abugida yang terdiri dari 18 aksara dasar. Arah penulisan aksara Lontara adalah kiri ke kanan. Aksara ini hanya digunakan untuk menulis bahasa Makassar. Selain itu, bahasa Makassar juga menggunakan aksara lain, yaitu Lontara. Naskah beraksara Jangang-jangang ini lebih sedikit daripada naskah Lontara. Pada tahun 2015 aksara Jawa diajukan ke Unicode dan diterima tahun 2018 mulai versi 11.0.
Jejak peninggalan aksara ini masih perlu ditelusuri. Hingga saat ini, aksara Minangkabau masih diperdebatkan hingga saat ini. Sebagian mengakui keberadaannya, tetapi sebagian besar masih meragukan. Namun, di tahun 2000-an, beberapa sekolah di daerah Sumatera Barat memperkenalkan aksara ini kepada peserta didik.
Aksara ini digunakan di wilayah Bengkulu dan Sumatera Selatan. Seperti kebanyakan aksara nusantara lainnya, Surat Ulu juga menggunakan sistem aksara Abugida. Aksara ini digunakan untuk menulis bahasa setempat seperti Rejang, Bengkulu, dan Ogan. Masa kemunculan awal belum diketahui, tetapi aksara ini digunakan di masa lampau pada media bambu, daluang, kulit kayu, hingga kertas. Pada tahun 2006 aksara Rejang diajukan ke Unicode dan diterima tahun 2008 mulai versi 6.0.
Aksara ini berkembang di wilayah Sunda, Jawa Barat. Kecakapan masyarakat dalam tulis-menulis di wilayah Sunda telah diketahui keberadaannya sejak sekitar abad ke-5 Masehi, pada masa Kerajaan Tarumanagara. Hal itu tampak pada prasasti-prasasti dan naskah kuno dari zaman itu. Selanjutnya baru sekitar zaman Kerajaan Sunda (masa Pakuan Pajajaran-Galuh, abad ke-8 sampai dengan abad ke-16), selain ditemukan peninggalan yang berupa prasasti dan piagam (Geger Hanjuang, Sanghyang Tapak, Kawali, Batutulis, dan Kebantenan), juga sudah ditemukan peninggalan yang berupa naskah (berbahan lontar, nipah, kelapa, dan bilahan bambu) dalam jumlah yang cukup banyak dan berasal dari berbagai daerah di wilayah Jawa Barat atau Tatar Sunda. Naskah-naskah tertua yang ditemukan dari wilayah Tatar Sunda ini berasal dari sekitar abad ke-14 hingga abad ke-16 Masehi. Aksara Sunda mulai perkenalkan kembali kepada masyarakat sejak pembakuannya tahun 1996. Pada tahun 2006 aksara Sunda diajukan ke Unicode dan diterima tahun 2008 mulai versi 5.1.
Aksara ini disebut juga aksara Bonda, merupakan aksara yang tidak lagi digunakan dan kini hanya diketahui oleh masyarakat Suwawa pedalaman. Belum ada catatan mengenai aksara ini sehingga belum dapat dikatakan sebagai aksara asli. Secara bentuk, aksara ini mirip dengan pola mirip Braille. Perlu kajian lebih lanjut mengenai aksara ini.