
Para ahli umumnya meyakini bahwa aksara Lontaraq telah digunakan sebelum Sulawesi Selatan mendapat pengaruh Islam yang signifikan sekitar abad 16 M, berdasarkan fakta bahwa aksara Lontaraq menggunakan dasar sistem abugida Indik ketimbang huruf Arab yang menjadi lumrah di Sulawesi Selatan di kemudian harinya Aksara ini berakar pada aksara Brahmi dari India selatan, kemungkinan dibawa ke Sulawesi melalui perantara aksara Kawi atau aksara turunan Kawi lainnya. Kesamaan grafis aksara-aksara Sumatra Selatan seperti aksara Rejang dengan aksara Lontaraq membuat beberapa ahli mengusulkan keterkaitan antara kedua aksara tersebut. Teori serupa juga dijabarkan oleh Christopher Miller yang berpendapat bahwa aksara Sumatra Selatan, Sulawesi Selatan, dan Filipina berkembang secara pararel dari pengaruh purwarupa aksara Gujarat, India.
Setidaknya terdapat empat aksara yang terdokumentasi pernah digunakan di wilayah Sulawesi Selatan, secara kronologis aksara-aksara tersebut adalah aksara Makassar (atau aksara Jangang-Jangang), Lontaraq, Arab, dan Latin. Dalam perkembangannya, keempat aksara ini kerap digunakan bersamaan tergantung dari konteks penulisan sehingga lazim ditemukan suatu naskah yang menggunakan lebih dari satu aksara, termasuk naskah beraksara Lontaraq yang sering ditemukan bercampur dengan Arab Melayu.
Memasuki pertengahan abad 19 M, berkembang teknologi cetak aksara Lontaraq yang diprakarsai oleh B. F. Matthes. Matthes dikomisikan oleh Lembaga Penginjilan Belanda untuk mempelajari bahasa-bahasa yang digunakan di Sulawesi Selatan dengan tujuan menghasilkan kamus, materi tata bahasa, dan terjemahan Injil yang layak bagi bahasa-bahasa tersebut. Matthes tiba di Makassar pada tahun 1848 M dan tinggal di sana selama sepuluh tahun. Bekerja sama dengan percetakan Tetterode di Rotterdam, sebuah font cetak untuk aksara Lontaraq yang Matthes anggap cukup memuaskan selesai diproduksi pada tahun 1856, dengan beberapa suntingan selama beberapa tahun ke depannya. Sejak itu, bacaan sastra Makassar dan Bugis, dengan font Lontaraq yang digubah Matthes, dapat dicetak massal dan menjadi lumrah beredar di khalayak umum. Langgam cetak ini kemudian menjadi model pengajaran standar di sekolah-sekolah dasar masa itu, bermula dari sekolah-sekolah di daerah Makassar yang kemudian menyebar ke seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Akibat tersebarnya langgam standar tersebut, gaya tulis aksara Lontaraq yang awalnya memiliki beberapa macam variasi lama kelamaan menjadi lebih seragam.
Secara tradisional, aksara Lontaraq digunakan untuk menulis beberapa bahasa yang digunakan di Sulawesi Selatan. Materi beraksara Lontaraq paling banyak ditemukan dalam bahasa Bugis, diikuti oleh bahasa Makassar, kemudian bahasa Mandar yang materinya paling sedikit. Masyarakat Toraja yang juga berdiam di Sulawesi Selatan tidak menggunakan aksara Lontaraq karena tradisi sastra Toraja mengandalkan penyampaian lisan tanpa tradisi naskah asli. Aksara Lontaraq yang sedikit dimodifikasi juga digunakan untuk beberapa bahasa di luar Sulawesi Selatan yang wilayahnya pernah mendapat pengaruh Bugis-Makassar, seperti bahasa Bima di Sumbawa timur dan bahasa Ende di Flores.