
Aksara Jawa merupakan salah satu aksara turunan Brahmi di Indonesia yang sejarahnya dapat ditelusuri runut melalui peninggalan-peninggalan yang diteliti oleh para ahli epigrafi. Akar tertua aksara Jawa adalah aksara Brahmi dari India yang berkembang menjadi aksara Pallawa di Asia Selatan dan Tenggara antara abad ke-6 hingga 8. Aksara Pallawa kemudian berkembang menjadi aksara Kawi yang digunakan sepanjang periode Hindu-Buddha Indonesia antara abad ke-8 hingga 15.
Sepanjang sejarahnya, aksara Jawa ditulis dengan sejumlah media yang berganti-ganti seiring waktu. Aksara Kawi yang menjadi nenek moyang aksara Jawa umum ditemukan dalam bentuk prasasti batu dan lempeng logam. Tulisan Kawi sehari-hari dituliskan menggunakan media lontar, yakni daun palem tal (Borassus flabellifer, disebut juga palem siwalan) yang telah diolah sedemikian rupa hingga dapat ditulisi. Lembar lontar memiliki bentuk persegi panjang dengan lebar sekitar 2,8 hingga 4 cm dan panjang yang bervariasi antara 20 hingga 80 cm. Tiap lembar lontar hanya dapat memuat beberapa baris tulisan, umumnya sekitar empat baris, yang digurat dalam posisi horizontal dengan pisau kecil kemudian dihitamkan dengan jelaga untuk meningkatkan keterbacaan. Media ini memiliki rekam jejak penggunaan yang panjang di seantero Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Pada abad ke-13, kertas mulai diperkenalkan di Nusantara, hal ini berkaitan dengan penyebaran agama Islam yang tradisi tulisnya didukung oleh penggunaan kertas dan format buku kodeks. Ketika Jawa mulai menerima pengaruh Islam yang signifikan pada abad ke-15, bersamaan ketika aksara Kawi mulai bertransisi menjadi aksara Jawa modern, kertas menjadi lebih lumrah digunakan di Jawa dan penggunaan lontar hanya bertahan di beberapa tempat.
Sebagian besar tulisan sastra Jawa tradisional dirancang untuk dilantunkan dalam bentuk tembang, sehingga teks sastra tidak hanya dinilai dari isi dan susunannya, tapi juga dari pelantunan dan pembawaan sang pembaca. Tradisi tulis Jawa juga mengandalkan penyalinan dan penyusunan ulang secara berkala karena media tulis yang rentan terhadap iklim tropis; akibatnya, kebanyakan naskah fisik yang kini tersisa merupakan salinan abad ke-18 atau 19 meski isinya sering kali dapat ditelusuri hingga purwarupa yang beberapa abad lebih tua.
Sepanjang sejarahnya, aksara Jawa ditulis dengan sejumlah media yang berganti-ganti seiring waktu. Aksara Kawi yang menjadi nenek moyang aksara Jawa umum ditemukan dalam bentuk prasasti batu dan lempeng logam. Tulisan Kawi sehari-hari dituliskan menggunakan media lontar, yakni daun palem tal (Borassus flabellifer, disebut juga palem siwalan) yang telah diolah sedemikian rupa hingga dapat ditulisi. Lembar lontar memiliki bentuk persegi panjang dengan lebar sekitar 2,8 hingga 4 cm dan panjang yang bervariasi antara 20 hingga 80 cm. Tiap lembar lontar hanya dapat memuat beberapa baris tulisan, umumnya sekitar empat baris, yang digurat dalam posisi horizontal dengan pisau kecil kemudian dihitamkan dengan jelaga untuk meningkatkan keterbacaan. Media ini memiliki rekam jejak penggunaan yang panjang di seantero Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Pada abad ke-13, kertas mulai diperkenalkan di Nusantara, hal ini berkaitan dengan penyebaran agama Islam yang tradisi tulisnya didukung oleh penggunaan kertas dan format buku kodeks. Ketika Jawa mulai menerima pengaruh Islam yang signifikan pada abad ke-15, bersamaan ketika aksara Kawi mulai bertransisi menjadi aksara Jawa modern, kertas menjadi lebih lumrah digunakan di Jawa dan penggunaan lontar hanya bertahan di beberapa tempat.
Terdapat dua jenis kertas yang umum ditemukan dalam naskah beraksara Jawa: kertas produksi lokal yang disebut daluang, dan kertas impor. Daluang (bahasa Jawa: dluwang) adalah kertas yang terbuat dari tumbukan kulit pohon saéh (Broussonetia papyrifera, disebut juga pohon glugu). Daluang cukup mudah dibedakan dengan kertas biasa dari warna cokelatnya yang khas dan karakter seratnya. Daluang yang dibuat dengan telaten akan memiliki permukaan mulus dan tahan lama dari macam-macam bentuk degradasi (terutama serangga). Sedangkan yang kurang berkualitas memiliki permukaan tidak rata dan mudah rusak. Daluang umum digunakan dalam naskah yang ditulis di keraton dan pesantren Jawa antara abad ke-16 dan 17.
Sebagian besar kertas impor yang digunakan di naskah-naskah Nusantara didatangkan dari Eropa. Pada awalnya, kertas Eropa hanya digunakan sebagian kecil juru tulis Jawa karena harganya yang mahal – kertas yang dibuat dengan teknik Eropa pada masa itu hanya bisa diimpor dalam jumlah terbatas. Dalam administrasi kolonial sehari-hari, penggunaan kertas Eropa perlu digabung dengan kertas daluang Jawa serta kertas impor Tiongkok setidaknya hingga abad ke-19. Seiring meningkatnya jumlah kertas impor dan pengiriman yang lebih berkala, juru tulis di keraton dan permukiman urban makin memilih kertas Eropa sebagai media tulis utama sementara daluang kian diasosiasikan dengan naskah yang dibuat di pesantren dan desa.
Bersamaan dengan meningkatnya impor kertas Eropa, teknologi cetak aksara Jawa juga mulai dirintis oleh sejumlah tokoh Eropa dan mulai digunakan secara luas pada tahun 1825. Dengan adanya teknologi cetak, materi beraksara Jawa dapat diperbanyak sehingga menjadi lumrah digunakan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa pra-kemerdekaan, seperti surat-surat, buku, koran, majalah, hingga pamflet, iklan, dan uang kertas.
Selama kurang lebih 500 tahun antara abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-20, aksara Jawa aktif digunakan dalam berbagai lapisan masyarakat Jawa sebagai tulisan sehari-hari maupun sastra dengan cakupan yang luas dan beragam. Karena pengaruh tradisi lisan yang kuat, teks sastra tradisional Jawa hampir selalu disusun dalam bentuk tembang yang dirancang untuk dilantukan, sehingga teks Jawa tidak hanya dinilai dari isi dan susunannya, namun juga dari irama dan nada pelantunan. Pujangga sastra Jawa umumnya tidak dituntut untuk menciptakan cerita dan karakter baru. Peran pujangga adalah untuk menulis dan menyusun ulang cerita-cerita yang telah ada ke dalam gubahan sesuai dengan selera lokal dan perkembangan zaman. Akibatnya, karya sastra Jawa seperti Cerita Panji bukanlah sebuah teks dengan edisi otoriter yang menjadi rujukan teks lainnya, melainkan kumpulan variasi cerita dengan benang merah tokoh Panji. Genre sastra dengan akar paling kuno adalah wiracarita atau epos Sanskerta seperti Ramayana dan Mahabharata yang telah disadur sejak periode Hindu-Buddha dan memperkenalkan tokoh-tokoh pewayangan seperti Arjuna, Srikandi, Gatotkaca, dan puluhan karakter lainnya yang kini akrab kita kenal. Cerita makin beragam sejak masuknya Islam di Jawa. Tokoh-tokoh dari sumber Timur Tengah seperti Amir Hamzah dan Nabi Yusuf juga menjadi salah satu subjek yang sering dituliskan. Terdapat pula tokoh-tokoh lokal yang sering kali mengambil latar semi legendaris di Jawa masa lampau, misal Pangeran Panji, Damar Wulan, dan Calon Arang.
Ketika kajian mendalam mengenai bahasa dan sastra Jawa mulai menarik perhatian kalangan Eropa pada abad ke-19, timbullah keinginan menciptakan aksara Jawa cetak agar materi sastra Jawa dapat mudah diperbanyak dan disebarluaskan. Upaya paling awal menghasilkan aksara Jawa cetak dirintis Paul van Vlissingen yang karyanya pertama kali digunakan dalam surat kabar Bataviasch Courant edisi Oktober 1825. Meski diakui sebagai suatu pencapaian teknis yang patut dipuji pada masa itu, aksara Jawa cetak Vlissingen dinilai memiliki gubahan bentuk yang canggung, sehingga perlu berbagai upaya penyempurnaan.
Pada tahun 1838, Taco Roorda menyelesaikan fon cetak untuk aksara Jawa yang ia gubah berdasarkan langgam penulisan Surakarta dengan sedikit campuran elemen tipografi Eropa. Rancangan Roorda disambut baik dan dengan cepat menjadi pilihan utama untuk mencetak segala tulisan yang beraksara Jawa. Sejak itu, bacaan beraksara Jawa, dengan fon Jawa yang digubah Roorda, menjadi lumrah beredar di khalayak umum dan diterapkan pula dalam berbagai materi selain sastra.
Hadirnya teknologi cetak menumbuhkan industri percetakan yang menghasilkan berbagai macam bacaan sehari-hari dalam aksara Jawa, dari surat administratif, buku pelajaran, hingga media massa populer seperti majalah Kajawèn yang seluruh kolom dan artikelnya dicetak dengan aksara Jawa. Pada tingkat pemerintahan, salah satu bentuk penerapan aksara Jawa adalah penggunaannya sebagai salah satu teks legal multi-bahasa dalam uang kertas Gulden yang disirkulasikan De Javasche Bank.
Penggunaan Kontemporer
Dalam ranah kontemporer, aksara Jawa hingga kini masih menjadi bagian dari pengajaran muatan lokal di DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Beberapa surat kabar dan majalah lokal memiliki kolom yang menggunakan aksara Jawa. Aksara Jawa dapat ditemukan pada papan nama tempat-tempat umum tertentu.
Sayangnya, penggunaan Aksara Jawa masih dinilai bersifat simbolik dan tidak fungsional, seperti tidak ada lagi, publikasi berkala Majalah Kajawèn yang sepenuhnya menggunak aksara Jawa. Akibat makin jarang digunakan, maka penerapannyapun sering keliru. Misalnya, sampai tahun 2019 sering ditemukan papan nama beraksara Jawa di tempat umum yang penulisannya memiliki banyak kesalahan dasar.
Beberapa kendala revitalisasi aksara Jawa termasuk menggunakan perangkat elektronik adalah munculnya kendala teknis menampilkan aksara Jawa tanpa galat. Minimnya lembaga dengan kompetensi memadai yang dapat menjadi rujukan, dan kurangnya semangat eksplorasi tipografi yang menarik bagi masyarakat, merupakan contoh faktor terjadinya kesalahan-kesalahan tersebut.
Untungnya, masih ada sejumlah komunitas dan tokoh masyarakat yang tidak menyerah dan telaten memperkenalkan kembali aksara Jawa dalam penggunaan sehari-hari, terutama dalam sarana digital. Untuk mendukung perkuatan pelestarian, pada bulan Februari 2020, PANDI yang bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, mengajukan proposal kepada ICANN untuk membuat nama domain dengan aksara Jawa. Menurut PANDI, domain ini diperkirakan dapat digunakan pada pertengahan tahun 2020.