Sejarah dan Perkembangan Aksara Batak

Para ahli umumnya meyakini bahwa surat Batak merupakan salah satu turunan aksara Brahmi India melalui perantara aksara Kawi, berdasarkan studi perbandingan bentuk aksara-aksara Nusantara yang pertama kali dijabarkan oleh Holle dan Kern. Namun begitu, sejarah evolusi surat Batak tidak dapat dirunut dengan pasti karena surat Batak sejauh ini hanya ditemukan pada materi yang umumnya tidak berumur lebih dari 200 tahun. Surat Batak lazim ditulis pada media yang rentan rusak di iklim tropis, dan tidak ada prasasti atau peninggalan tua lainnya yang disetujui sebagai purwarupa langsung surat Batak.

Kerabat paling dekat dari surat Batak adalah aksara-aksara Sumatra Selatan seperti aksara Rejang dan aksara Lampung. Baik rumpun surat Batak maupun aksara-aksara Sumatra Selatan berkembang di wilayah pedalaman Sumatra yang relatif lambat menerima pengaruh luar. Karena itulah, ketika Sumatra menerima pengaruh Islam yang signifikan sejak abad ke-14, kedua wilayah tersebut mempertahankan penggunaan aksara turunan Indik selagi wilayah pesisir mengadopsi penggunaan abjad Arab dan Jawi. Surat Batak diduga pertama kali berkembang di daerah Angkola–Mandailing, barangkali tidak jauh dari perbatasan Sumatra Barat Dari Mandailing, aksara Batak menyebar ke arah utara menuju wilayah Toba, kemudian Simalungun dan Pakpak–Dairi, hingga akhirnya mencapai wilayah Karo yang paling bela­kangan menerima surat Batak. Meski terakhir menerima surat Batak, daerah Karo dalam perkembangannya menjadi daerah dengan tradisi penggunaan surat Batak yang paling kental dan bertahan paling lama pasca-kemerdekaan.

Salah satu deskripsi dan tabel surat Batak paling awal oleh penulis asing dapat ditemukan dalam buku History of Sumatra oleh William Marsden yang dicetak pada tahun 1784. Namun selain itu, tidak banyak yang diketahui mengenai bahasa, sastra dan surat Batak di luar masyarakat Batak sendiri hingga pertengahan abad ke-19. Pada tahun 1849, Lembaga Penginjil Belanda menugaskan ahli bahasa Herman Neubronner van der Tuuk untuk mempelajari bahasa Batak dengan tujuan menghasilkan kamus, materi tata bahasa, dan terjemahan Injil yang layak untuk bahasa tersebut. Pada tahun 1851, ia tiba di Sumatra dan akhirnya tinggal di kota pelabuhan Barus. Ia rutin menjelajahi pedalaman ranah Batak dari tahun 1853 hingga kepergiannya dari Sumatra pada tahun 1857. Berdasarkan studi dan pengalamannya dengan masyarakat Batak, Van der Tuuk menghasilkan materi komprehensif mengenai tradisi lisan dan tulis Batak yang hingga kini masih masih menjadi rujukan dasar dalam berbagai studi Batak.

Surat Batak secara tradisional ditulis di sejumlah media, di antaranya yang paling lumrah adalah bambu, tulang, dan kulit kayu. Naskah dengan media-media tersebut dapat ditemukan dalam ukuran dan tingkat kerajinan yang bervariasi. Tulisan sehari-hari umum digurat pada permukaan bambu atau tulang dengan pisau kecil. Guratan ini kemudian dihitamkan dengan jelaga untuk meningkatkan keterbacaan. Bambu dan tulang yang ditulisi oleh surat Batak lumrah dimanfaatkan sebagai perkakas sehari-hari, misal sebagai tabung penyimpanan pinang atau kalung sekaligus jimat penolak bala. Kulit kayu khusus digunakan untuk naskah pustaha yang digunakan kaum pendeta. Untuk membuat pustaha, kulit dalam pohon gaharu (Aquilaria malaccensis) dipotong dan dihaluskan menjadi lembar panjang yang disebut laklak. Panjang lembar ini bisa berkisar antara 60 cm hingga 7 m, namun pustaha terbesar yang diketahui (kini disimpan di Tropenmuseum, Belanda) memiliki panjang hingga 15 m. Lembar laklak ini kemudian dilipat-lipat, dan kedua ujungnya dapat direkatkan pada sampul kayu bernama lampak yang sering kali memiliki ukiran kadal Boraspati. Berbeda dengan naskah bambu dan tulang, naskah pustaha ditulis dengan tinta menggunakan pena dari rusuk daun aren (Arenga pinnata) yang disebut suligi atau pena dari tanduk kerbau yang disebut tahungan. Kertas baru digunakan dengan jumlah yang terbatas pada pertengahan abad ke-19 ke atas, namun bambu, tulang, dan kulit kayu terus digunakan sebagai media utama penulisan aksara Batak hingga abad ke-20 ketika tradisi tulis aksara Batak mulai menghilang.

Surat Batak terdiri dari beberapa varian yang digunakan untuk menulis lima bahasa Batak: Karo, Pakpak, Mandailing, Simalungun, dan Toba. Kaum pendeta Batak kadang digambarkan sebagai satu-satunya pengguna surat Batak, namun kemampuan membaca dan menulis surat Batak tersebar dalam berbagai lapisan masyarakat Batak dan tidak jarang ditemukan perkakas sehari-hari yang diguratkan dengan surat Batak oleh pemiliknya masing-masing Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Batak pra-kemerdekaan menggunakan surat Batak untuk beberapa fungsi tertentu seperti penulisan naskah pustaha dan surat menyurat.

Aksara Lainnya


Sejarah dan Perkembangan Aksara Bali

Aksara Bali merupakan turunan dari aksara Brahmi India melalui perantara aksara Kawi dan berkerabat dekat dengan aksara Jawa. Aksara Bali aktif digunakan dalam sastra maupun tulisan sehari-hari masyarakat Bali sejak pertengahan abad ke-15 hingga kini dan masih diajarkan di Bali sebagai bagian dari muatan lokal.

Sejarah dan Perkembangan Aksara Jawa

Aksara Jawa merupakan salah satu aksara turunan Brahmi di Indonesia yang sejarahnya dapat ditelusuri runut melalui peninggalan-peninggalan yang diteliti oleh para ahli epigrafi.

Sejarah dan Perkembangan Aksara Lontara

Aksara ini berkembang di Sulawesi Selatan, disebut juga aksara Bugis, aksara Bugis-Makassar, atau aksara Lontara Baru. Aksara Lontara terutama digunakan untuk menulis bahasa Bugis dan Makassar, namun dalam pekembangannya juga digunakan di wilayah lain yang mendapat pengaruh Bugis-Makassar seperti Bima di Sumbawa timur dan Ende di Flores dengan tambahan atau modifikasi.

Sejarah dan Perkembangan Aksara Makasar / Jangang-jangang

Aksara ini dikenal juga sebagai Ukiri' Jangang-jangang dalam bahasa Makassar, pernah digunakan di Sulawesi Selatan untuk penulisan bahasa Makassar antar abad 17 M hingga abad 19 M.

Sejarah dan Perkembangan Aksara Pégon

Pegon digunakan di kalangan umat Muslim, yang hidup dari pendidikan agama di pesantren. Pegon sendiri muncul bersama Islam di Jawa.

Sejarah dan Perkembangan Aksara Sunda

Kecakapan masyarakat dalam tulis-menulis di wilayah Sunda telah diketahui keberadaannya sejak sekitar abad ke-5 Masehi. Hal itu tampak pada prasasti-prasasti dan naskah kuno dari zaman itu. Sejak April 2008, aksara Sunda secara resmi masuk ke dalam standar Unicode.